Pada hakikatnya, tidak ada manusia yang bisa memilih untuk terlahir di mana dan dalam kondisi apa. Begitu juga anak-anak yang terlahir di Indonesia. Meski negara ini masih harus banyak berbenah di banyak aspek kehidupan, namun anak-anak Indonesia patut mensyukuri fakta bahwa negara tidak melalaikan hak-hak dasar anak. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Konvensi Hak Anak (KHA), yang di dalamnya memuat prinsip dasar hak anak. Prinsip-prinsip dasar anak itu pun kemudian dilindungi payung hukum di bawah UU perlindungan anak no. 23 tahun 2002. Salah satu tujuannya yakni untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tidak dapat dipungkiri, implementasi yang diwariskan dari generasi ke generasi tersebut masih menemui banyak kendala, terlebih pada anak berkebutuhan khusus atau ABK yang masih jauh dari cukup mendapatkan perhatian. Tidak sedikit pula hak-hak yang terabaikan seperti hak bermain dan mendapatkan pendidikan yang layak. Sementara, hak-hak tersebut bukan hanya semata menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, melainkan memerlukan peran aktif keluarga serta lingkungan dalam mendukung anak-anak berkebutuhan khusus. Dari banyak kondisi anak berkebutuhan khusus, anak dengan Cerebral palsy (CP) menjadi salah satu yang umum ditemukan di masyarakat.
Terbatasnya pengetahuan terkait Cerebral Palsy membuat anak-anak yang menyandang kelainan ini baik secara langsung maupun tidak langsung mendapat diskriminasi dari lingkungan. Tidak jarang sebutan cacat, lumpuh, penyandang penyakit menular, hingga menjadi beban keluarga dan lingkungan, singgah di telinga anak-anak penyandang Cerebral Palsy. Cerebral palsy sendiri adalah kondisi gangguan gerakan, otot, atau postur yang disebabkan oleh cedera atau perkembangan abnormal di otak, yang umunya terjadi sebelum kelahiran. Kelainan ini kemudian memiliki dampak yang bervariasi pada tiap anak seperti gangguan pendengaran, gangguan bicara, gangguan penglihatan serta gangguan perkembangan motorik. Penyebabnya pun bisa berasal dari banyak faktor, sehingga calon orang tua sering kali tidak bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi kondisi anak yang tidak dikehendaki ini.
Mendapatkan pandangan berbeda serta perlakuan berbeda dari keluarga, Setidaknya itulah yang pernah dirasakan oleh Nuramelia atau teh Amel panggilan akrabnya, ibu dari 2 orang putri yang salah satunya mengidap Cerebral Palsy. Tidak ada tanda-tanda berarti ketika Tuhan menitipkan Hanin dalam rahimnya 5 tahun silam. Semua berjalan seperti biasa hingga ia menyadari beberapa milestone pertumbuhan terlambat dikuasai Hanin seperti duduk dan bicara. Rasa tidak percaya kemudian dirasakan keluarga saat dokter menyatakan Hanin mengidap Cerebral Palsy. Betapa tidak, membayangkan masih adanya pandangan aneh di masyarakat menjadi hal yang harus dihadapi keluarga dalam membesarkan Hanin. Belum lagi membayangkan berapa banyak kesempatan yang bisa didapatkan Hanin untuk bisa hidup mandiri di kemudian hari, menambah kekhawatiran tersendiri dalam merawat dan mempersiapkan Hanin untuk apa yang akan dihadapinya kelak.
Bagi anak-anak penyandang Cerebral Palsy, peran keluarga menjadi faktor penting dalam mendukung tumbuh kembang layaknya anak-anak pada umumnya. Mengutip apa yang diutarakan Teh Amel, rumah adalah lokasi pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak. Serta Al ummu madrosatul uulaa, yang bermakna ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, peran seorang ibu pun menjadi sangat krusial, melebihi peran anggota keluarga lainya. Ibu menjadi orang pertama yang berperan sebagai tumpuan bagi penyandang Cerebral Palsy baik dalam berkomunikasi maupun mobilisasi dalam aktivitas sehari-hari. Sementara dukungan keluarga tak kalah pentingnya dalam menumbuhkan semangat dan motivasi agar anak penyandang Cerebral Palsy tidak menempatkan diri mereka lebih rendah atau tidak sepadan dibanding dengan anak-anak lainnya. Meski memiliki keterbatasan dalam komunikasi dan mobilitas, Hanin tumbuh dengan ceria berkat dukungan keluarga. Bukan tanpa alasan, Hanin cukup beruntung lantaran dikelilingi keluarga yang mendukung dan bekerja sama satu dengan lain salah satunya dengan membantu Hanin dalam melakukan latihan fisioterapi. Fisioterapi sendiri merupakan salah satu treatment yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan motorik penyandang Cerebral Palsy. Keluarga Hanin dalam hal ini bergantian dalam membantu Hanin melakukan latihan fisioterapi dan saling mengingatkan satu sama lain untuk membantu Hanin dalam kesehariannya. Dari contoh kecil yang dilakukan keluarga Hanin, terlihat jelas betapa pentingnya peran keluarga dalam mendukung anak sekaligus menguatkan hubungan antar anggota keluarga lainya. Langkah-langkah kecil yang dilakukan keluarga itu pun turut membawa dampak besar sebagai dorongan semangat agar anak penyandang Cerebral Palsy terus berjuang dan tidak menyerah dengan keadaan.
Berkaca pada kondisi penunjang kebutuhan ABK dalam beraktivitas dan mendapat pelayanan umum yang layak, tentu tidaklah mudah bagi penyandang Cerebral Palsy untuk bisa beraktivitas tanpa bantuan orang lain. Dalam hal ini peran lingkungan dan pemerintah juga tidak kalah pentingnya dalam memenuhi hak-hak anak penyandang Cerebral Palsy. Mengingat masih banyaknya fasilitas yang belum cukup ramah bagi kaum disabilitas, termasuk di antaranya jembatan penyebrangan, trotoar, hingga kendaraan umum sebagai penunjang mobilitas. Peran lingkungan dan masyarakat pada umumnya menjadi krusial dalam membantu penyandang disabilitas dalam bermobilisasi. Selain itu, pengetahuan terkait Cerebral Palsy agaknya harus terus disosialisasikan di masyarakat sehingga stigma negatif tentang penyandang Cerebral Palsy bisa perlahan dikikis dengan edukasi.
Yuk download aplikasi Babyo di Android & iOS dan bergabung dengan ribuan Moms lainnya untuk saling berbagi cerita dan mendapatkan rewards! You really don't want to miss out!
Comments