Terkadang masih tak percaya ketika Saya hampir 24/7 bersama si kecil. Sudah hampir satu tahun saya meninggalkan segala hingar bingar Ibu kota, pindah ke Jogjakarta, meninggalkan pekerjaan dan bergelut dengan mengganti popok, memandikan, memasak, menyuapi, menyapu, dan urusan domestik lainnya, yang tak selesai-selesai jika disebutkan. Bahagianya, saat si kecil pertama kali memanggil Saya i-bu-i, momen tersebut tak ternilai harganya.
Sempat saya berpikir. Apakah Saya sudah menjadi Ibu yang baik? Apakah Saya sudah mengajarkan apa yang memang seharusnya diajarkan di usianya dan tumbuh kembangnya?
Rasa gundah itu sirna ketika Saya memilih buku untuk berinteraksi dengan anak Saya. Bukan mainan, apalagi gadget. Saya dan suami sepakat untuk tidak mengenalkan media elektronik padanya. Bahkan Kami sepakat untuk mengeluarkan televisi dari kamar tidur kami. Menggunakan screen time untuk menggunakan gadget di depan anak Kami. Dari usia 0 bulan, si kecil sudah berteman dengan buku tipe high contrast. Buku dengan warna hanya hitam dan putih. Saya yakini itu merangsang fokus di matanya. Kini di usianya yang sudah 1.5 tahun, tak terasa si kecil sudah memiliki lebih dari 100 judul buku anak dengan berbagai tipe dari Pop up book hingga magnetic book.
Setiap hari, Saya dan Suami membacakan buku untuknya. Tidak lama, hanya sekitar 10-15 menit. Sebentar sekali bukan, jika dibandingkan dengan 1,440 menit dalam sehari yang kita miliki? Kami membacakan buku, mengajarkan banyak hal, dan menceritakan apapun. Terkadang Dia ikut tertawa seperti mendengarkan, bahkan merebut buku dan ikut membolak-balikkan halaman. Terkadang pula Ia acuh, asyik sendiri dengan aktivitasnya. Ya sudah, Kami membaca saja tetap dengan serunya, dengan intonasi yang menarik pula. Akhirnya Ia tertarik lagi, ikut membaca, dan kami tertawa bersama.
Kami selalu membawakan beberapa buku untuk si kecil ketika kami keluar rumah. Pernah suatu ketika, saat Kami kumpul keluarga, si kecil tidak tertarik bermain gadget yang ditawarkan oleh kakak sepupunya. Ia asyik bermain dengan buku favoritnya. Lebih senang lagi ketika ternyata kakak sepupunya ikut tertarik membaca, meninggalkan gadgetnya, membacakan buku untuk anak kami yang sibuk membolak balikkan halaman, dan tertawa bersama.
Semoga Saya dan Suami tak salah menjadikan buku sebagai sahabat sedari kecil. Bukan agar Ia cepat membaca nantinya, bukan pula agar Ia menjadi lebih cepat berbicara. Saya memberikan buku, membacakan buku, untuk tujuan yang lebih luas, mengenalkan banyak hal baru padanya. Buku menjadi sarana yang tepat untuk hal tersebut. Saya yakin buku akan selamanya menjadi jendela dunia, tak tergantikan oleh gadget dan media elektronik apapun.
Tak harus buku impor yang harganya mahal, atau menunggu satu tahun sekali untuk membeli buku di ajang pameran buku yang diskonnya besar besaran itu. Tak harus paket, tak harus boardbook. Apapun itu, buku apapun dengan harga seberapapun bisa menjadi sahabat untuk berinteraksi dengan si kecil. Ceritakanlah hebatnya dan serunya dunia dengan membacakan buku untuknya. Sekarang buku lokal tak kalah menarik dengan buku impor. Senangnya, sudah banyak produsen buku lokal di Indonesia yang memberikan banyak inovasi terkait konten dan jenis bukunya. Jadi tak perlu ribet menerjemahkan apa arti tiap kata.
Yep, membuat anak menyukai, menyayangi, bahkan jatuh cinta terhadap buku tidak se-instan seperti membuat anak menyukai gadget. Harus dikenalkan sedari kecil. Sama seperti kita saat jatuh cinta. Harus PDKT sesering dan sedini mungkin, bukan? Sebelum akhirnya bisa jatuh cinta?
Semoga bermanfaat.
By: Lizta Permata.
Yuk download aplikasi Babyo di Android & iOS dan bergabung dengan ribuan Moms lainnya untuk saling berbagi cerita dan mendapatkan rewards! You really don't want to miss out!
Comments